Kamis, 03 April 2008

Novel: Ayat-Ayat Cinta Download

http://rapidshare.com/files/104565674/Novel_Ayat_Ayat_Cinta.zip.html
http://rapidshare.com/files/104564168/Novel_Ayat_Ayat_Cinta.rar.html

Selasa, 01 April 2008

Misi Pluralisme di Balik Novel Ayat-ayat Cinta

Arrahmah Opini - Pesona Novel Ayat-ayat Cinta, telah menjulangkan nama penulisnya, Habiburrahman el-Shirazy, ke posisi Tokoh Perubahan 2007 versi Republika. Seperti sastrawan dan budayawan Mesir Mahmud Abbas al-Aqqad, Thaha Husein dan lainnya, yang menjadi makelar zionis melalui gagasan multikultural dan multikeyakinan. Agen zionis, memang tidak pernah kehilangan cara untuk menemukan kaki tangan di bidang sastra dan budaya. Membaca novel ayat ayat cinta menyisakan beragam kesan. Mungkinkah penulisnya dianggap figur yang tepat sebagai makelar zionisme melalui misi pluralisme agama?

LAHIR di Sema-rang, Kamis 30 September 1976, Habiburrahman el-Shi-razy, memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen; sambil belajar kitab ku-ning di Pondok Pesantren Al-Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir Ham-zah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Prog-ram Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995.

Setelah itu melanjut-kan pelajaran ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ha-dits di Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgra-duate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Stu-dies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.
Kembali ke tanah air pada pertenga-han Oktober 2002, ia di-minta ikut mentashih Ka-mus Populer Arab-Indo-nesia yang di-susun oleh KMNU Mesir dan diterbitkan oleh Diva Pus-taka Jakarta, (Juni 2003). Ia juga menjadi kontributor pe-nyusunan En-siklopedi Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Pemikiran-nya, (terdiri atas tiga jilid di-tebitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003).

Antara tahun 2003-2004, ia mendedikasikan ilmunya di MAN I Jogja-karta. Selanjutnya sejak tahun 2004 hingga 2006, ia menjadi dosen Lem-baga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam Abu Ba-kar Ash Shiddiq UMS Surakarta. Saat ini ia mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan pendi-dikan lewat karya-karya-nya dan pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia bersama adik dan temannya.

Dengan reputasi de-mikian, beralasan bila se-bagian pembaca mengido-lakannya bagai HAMKA Muda. Seperti juga dalam bidang pemikiran dan politik, khalayak Indonesia pernah menyematkan nama Natsir Muda pada diri Nurcholish Madjid. Apalagi penulis 'Ayat-ayat Cinta' cukup berprestasi internasional yang lama menimba ilmu di al-Azhar Mesir, dan akrab dengan budayawan serta novelis di Mesir yang terkenal se-bagai sarang pembinaan zionis.

Touris dan Dzimmi

Begitu gegap gempita publikasi Novel Ayat-ayat Cinta, menyebabkan ba-nyak pembaca kehilangan daya kritis. Sehingga nyala api pluralisme menerobos masuk imajinasi penulis, tak dirasa adanya. Pada mulanya, barangkali se-kadar titipan ide, namun je-las titipan dimaksud men-jadi ide sentral rangkaian kisah cerita Novel Ayat-ayat Cinta.

Pada bagian ketiga di bawah judul 'Kejadian di Dalam Metro' misalnya, berlangsung cekcok an-tara rombongan turis Amerika dengan pe-numpang asli Mesir yang meledakkan ama-rahnya pada bule-bule itu, sebagai ganti kejengkelan mereka pada pemerintah Amerika yang aro-gan dan mem-bantai umat Islam di Afghanistan, Iraq, dan Pales-tina. Namun, dalam cekcok ter-sebut penulis menyalah-kan orang Mesir, dan memosisikan touris kafir yang berkunjung kenegara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai ahlu dzimmah yang memiliki hak-hak kekebalan diplo-matik, dengan manipulasi dalil agama. “Ahlu dzim-mah adalah semua non Muslim yang berada di dalam negara kaum Mus-limin, masuk secara legal, membayar visa, punya pas-por, hukumnya sama de-ngan ahlu dzimmah, da-rah dan kehormata n mereka harus dilindungi,” katanya.

Sebagai pembenaran atas pembelaannya pada bule Amerika itu, penulis mencomot sebuah hadits: “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku, dan siapa yang menyakiti diriku ber-arti dia menyakiti Allah.”

Padahal, menempat-kan touris asing sebagai dzimmi di negeri Muslim bukan saja tidak memiliki argumentasi syar'iyah, te-tapi juga merusak tatanan syar'i secara keseluruhan. Persoalannya, bukan pada perlakuan kasar atau halus terhadap touris, melainkan pada posisi yang disemat-kan, bahwa touris tidak sama dengan ahlu dzim--mah, baik hak maupun kewajibannya. Pem-bayaran visa tidak bisa di-samakan dengan jizyah. Sebab, legalitas hukum bagi touris dan ahlu dzimmah memiliki per-bedaan-per-bedaan sehingga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.

Perbedaan itu antara lain: Pertama, Ahludz dzimmah (dzimmi) adalah orang kafir yang menjadi warganegara Negara Islam. Sedangkan touris tidak memiliki hak ke-warganegaraan, dan hanya memiliki hak pelayanan sebagai tamu.

Kedua, Dzimmi mem-punyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bila-mana pemerintah tidak bisa memenuhi hak ke-warganegaraan orang dzimmi, maka mereka tidak wajib lagi membayar jizyah (pajak). Sedangkan pembayaran visa touris yang berkunjung ke sebuah negara Islam tidak dapat dianggap sebagai jizyah, karena orang Islam yang bukan penduduk negara yang dikunjunginya juga harus membayar visa. Apakah orang Islam yang berkunjung ke negara Islam juga dianggap dzim-mi oleh pemerintah negara tempat dia berwisata?

Ketiga, pada keadaan darurat, pemerintah negara Islam dapat mewajibkan penduduk dzimmi untuk menjalani wajib militer. Berbeda dengan touris, apabila datang ke suatu negara yang sedang dalam keadaan darurat perang ti-dak bisa dipaksa ikut wajib militer bagi negeri yang di-kunjunginya.

Perbedaan prinsip di atas, nampaknya kurang di-pahami oleh penulis novel, dan lebih terpesona dengan misi kemanusiaan global yang menjadi gerak nafas pluralisme; sehingga meng-hilangkan kewaspadaan. Boleh jadi touris itu justru musuh yang sedang menya-mar, meneliti, atau men-jalankan misi intelijen. Novelis muda lulusan filsa-fat Al-Azhar Cairo itu, ber-gaya ulama besar ahli fiqih dan ahli hadits berkaliber dunia, lalu mengintroduksi hadits dzimmi sebagai 'ijti-had cemerlang'.

Untuk menetralisir kecurigaan, dan menang-kal virus berbahaya ter-utama bagi pembaca muda yang jadi sasaran utama novel ini, sebenarnya penu-lis dapat mengimbanginya dengan wacana pemikiran yang adil, bahwa dalam ba-nyak kasus kedatangan touris-touris kafir di negeri Islam membawa dampak kerusakan moral dan sosial di tengah masyarakat muslim. Bahkan sebagian sengaja disusupkan se-bagai mata-mata ter-selubung. Fakta ini dapat terlihat jelas dan ditemu-kan oleh para pejabat intelijen negara bahwa touris biasa dipakai kedok oleh para agen intelijen untuk menjalankan ope-rasinya. Namun, penulis lebih mendahulukan 'baik sangka' daripada was-pada, suatu sikap yang telah membuat umat Islam berulangkali tertipu dan dininabobokkan gagasan harmonisasi an-tar umat beragama, tanpa mempertimbangkan aki-batnya yang berbahaya.

Namun penulis alfa melakukannya. Maka, tidak aneh bila terdapat pembaca kritis mem-pertanyakan, misi siapa yang hendak dipasarkan oleh penulis di balik novelnya yang best seller tersebut? Dilihat dari simplifikasi penggunaan dalil-dalil agama untuk menopang argumentasi, dan memanipulasi tujuan politik yang halus, me-rupakan ciri khas kom-prador zionisme yang ber-gentayangan di tengah-te-ngah masyarakat Muslim. Maka bukan mustahil, Novel Ayat-ayat Cinta yang sudah 30 kali cetak ulang dengan tiras 500 ribu eksemplar, menjadi pembuluh darah halus yang mengalirkan misi pluralisme agama yang telah diformat oleh zionis-me internasional dan di-pasarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim Indo-nesia.

Tanpa pretensi 'buruk sangka' terhadap novelis muda Habiburrahman, ki-sah sampingan yang di-tampilkan berkaitan de-ngan touris Amerika itu, kita perlu mewaspadai adanya celupan misi zionis dalam obrolan seperti Kejadian di Dalam Metro itu. Sudah banyak pemuda yang diperalat untuk mengembangkan faham toleransi dan pluralisme agama melalui tokoh-tokoh Indonesia yang di-anggap cemerlang dan ber-pengaruh.

Ayat-ayat Setan berkedok Ayat-ayat Cinta

Iblis berkata, “Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (kemaksiatan) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
(QS. Al-Hijr: 39).

Di pinggir jalan-jalan raya saat ini, di mana di sana berdiri tempat muda-mudi saling berkumpul sembari meperhatikan baliho atau banner besar yang terpampang, terbaca tulisan di dalam sebuah gambar “Ayat-ayat Cinta”, Serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai…..

Ku saksikan mereka berpegangan erat penuh cinta sembari seorang gadis menunjukkkan jarinya ke arah gambar tersebut. Mungkin, ia sedang meminta kepada kekasihnya untuk berencana menyaksikannya. Dan kusaksikan di antara mereka, ada yang mengenakan “jilbab” dan juga bersama kekasihnya. Tidakkah mereka memikirkan kelak, Allah sang pemilik cinta yang bersemi di antara mereka, akan meminta pertanggungjawaban atas cinta yang mereka semaikan di antara mereka?

Teringat akan penulis yang dahulu sempat membaca novelnya. Saat pertama kali selesai membaca, terlintas kekaguman di dalam hati. “Subhanallah, tidak pernah saya membaca novel sebagus ini!”.

Saat ini, ketika semua saat-saat seperti itu sudah berlalu, hanya bisa ku menyesali. Menertawakan diri yang begitu dangkal menilai. Menilainya hanya berdasarkan perasaan pribadi. Sementara yang dinilai, dikaitkan dengan agama ini. Islam yang sangat kucintai. Padahal, tidaklah dikatakan sesuatu melainkan dengan apa sesuatu itu diartikan. Islam hanyalah ada pada Al Qur’an dan pada apa-apa yang disampaikan oleh Rosululloh -shollallahu ‘alaihi wa sallam-.

Pernah beberapa kali melihat tanggapan-tanggapan dari para penikmat film di beberapa situs yang menyebarkan info penayangan film tersebut, baik penikmat film secara umum, maupun yang bernuansa “Islamiy”. Bahkan mungkin, ada di antara mereka yang sebelumnya tidak pernah datang ke bioskop-bioskop, dan mulai akan berencana membeli tiket untuk mencicipi ruangan berlayar lebar tersebut yang dirasakan begitu sejuk duduk di dalamnya. Tidak!, padahal mereka sedang mengantri untuk membeli tiket ke neraka. Yang tidaklah dingin dan sejuk, namun panas lagi membakar.

Mari kita berpikir saudaraku semuanya!

Ada banyak madhorot di sana, yang akan engkau jumpai -jika engkau belum pernah ke sana-. Dan bagi kalian yang pernah ke sana, coba renungi dengan hati penuh keimanan beberapa keburukan yang akan sering engkau dapatkan. Dan jangan pernah lagi mengulanginya. Cukuplah seorang yang beriman jatuh di lubang yang pertama dan berusaha menghindari terjatuh di lubang yang sama.

–>>> Dari segi film Ayat-Ayat Cinta:

  1. Boleh jadi, film “islamiy” tersebut akan menjadi promosi bagi dirimu sendiri untuk mulai mendatangi bioskop di kesempatan berikutnya. Padahal, kamu belum pernah mendatangi bioskop sebelumnya.
  2. Adakah dia dikatakan film “islamiy”, padahal di dalamnya pemerannya bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya?
  3. Apakah engkau akan menjadikan mereka -para artis- sebagai teladan?
  4. Bahkan, si pembuat filmnya “Hanung Bramantyo”, adalah orang yang senang dengan orang-orang yang suka beromong kosong tentang Tuhan. Apakah engkau akan mendukung orang-orang seperti dia?
  5. Bahkan, di sana ditampilkan gambar-gambar. Padahal, Allah melarangnya.
  6. Yang dengan gambar-gambar itu, engkau melihat aurat orang lain.
  7. Masih banyak lagi keburukan lainnya, yang jika engkau menelitinya akan engkau dapatkan bahwa tidak ada sisi Islamnya di sana.
—>>> Dari segi tempatnya, bioskop:

1. Bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan.

Allah Azza wa Jalla- berfirman, “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara demikian itu lebih baik bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)

2. Akan engkau lihat di antara mereka banyak yang menggunakan pakaian yang jika engkau melihatnya, engkau berdosa dan tidak akan engkau dapatkan kekhusyukan ibadahmu.

Allah Azza wa Jalla- berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami
mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nuur: 30-31).

3. Menyia-nyiakan waktu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Demi masa! Sesungguhnya manusia berada pada kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan beramal sholih…..” (Al-Ashr)

4. Meninggalkan waktu sholat.

5. Menjauhkan hati dari mengingat Allah.

6. Jelaslah, tidak ada gunanya!. Haram! Insya Allah akan masuk neraka bagi orang-orang yang mendatanginya!.

7. Jika sudah begitu, apakah masih rela membelanjakan uangmu untuk hal-hal yang demikian?

Dari al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan kamu durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, enggan memberi miliknya tetapi meminta-minta milik orang lain, dan dilarang atas kamu tiga perkara, yaitu berbohong dalam cerita, banyak bertanya, dan mubazir harta.” (HR. Bukhari).

—->>>Solusi:

1. Sibukkan diri dengan mempelajari ilmu.

2. Duduklah bersama orang-orang yang selalu menjaga agamanya.

3. Berpikirlah berdasarkan agamamu, bukan hanya berdasarkan perasaan.

4. Berpikirlah, bagaimana jika ketetapan (mati) Allah menjemputmu dan mati kita di dalam tempat yang penuh maksiat tersebut?.

5. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!.

Wallahu a’lam!

Film Ayat-ayat Cinta - sebuah bahan renungan

Mungkin karena fenomena best seller nya Novel Ayat-ayat Cinta yang menyebabkan banyak orang ingin cari tahu tentangnya yang akan dibuat menjadi film beberapa hari lagi. Dan ketika mereka searching di google atau lainnya, menggunakan keyword Ayat-ayat Cinta lalu tersangkut di blog ini. Karena memang ternyata, banyak sekali tanggapan orang-orang yang menunggu kehadiran film tersebut. Hal itu bisa di lihat di blog pribadinya si pembuat film tersebut. Juga di blog peminat, dan lainnya.

Walhamdulillah, jika memang begitu keadaannya semoga mereka mengurungkan niatnya dan mengganti dengan aktivitas yang bermanfaat setelah membacanya.

Oleh karena arus terbanyak itulah, tulisan kedua yang membahas tentang Ayat-ayat Cinta ini dibuat. Semoga niat ini dapat menghancurkan angan-angan Hanung Bramantyo, si Peminat omong-kosong tentang Ayat-ayat Allah. Meskipun disadari ini hanyalah sebagian kecil usaha dari banyak lagi blog-blog lainnya, seperti di blog ini, yang menyoroti Ayat-ayat Setan tersebut.

Namun, tulisan ini bukan bermaksud mengajak para pembaca untuk mengalihkan minatnya setelah membaca artikel sebelumnya, dari menonton film Ayat-ayat Cinta ke film porno, setelah membaca artikel ini.

Seluruh film yang memperlihatkan tubuh manusia adalah haram. Allah -subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nuur: 30-31).

Oleh karenanya, melihat sebagian aurat saja haram, apalagi melihat seluruh aurat seperti di film-film porno.

Teringat akan pesan Al-Imam Sufyan Ats Tsauri -rohimahullohu-, “Sesungguhnya kebid’ahan amat sangat disenangi oleh iblis daripada perbuatan maksiat. Karena (orang yang melakukan) perbuatan bid’ah tidak akan (kecil kemungkinan) bertaubat darinya. Sedangkan kemaksiatan akan (memungkinkan pelakunya) bertaubat darinya.”

Di samping itu juga, sesuatu hal yang jelas-jelas maksiat, seperti film porno, kita akan dengan tegas mengatakan bahwa itu adalah kemaksiatan. Dan berusaha sebisa mungkin untuk menjauhinya. Kecuali yang di hatinya sudah rusak. Dan ketika orang terjerumus di dalamnya, besar kemungkinan dia akan menyesali telah melakukan hal tersebut, lalu ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya.

Namun, bayangkan jika sesuatu hal yang sebenarnya buruk, dan setan membungkusnya dengan kata-kata indah. Sehingga tersamarlah keburukan itu dengan sebuah keindahan. Yang jika kita melakukannya, maka kita tidak akan menyesalinya. Bahkan cenderung merasa telah melakukan sebuah ibadah, atau minimal berbuat baik. Kecil sekali kita menyesali perbuatan tersebut.

Coba diperhatikan kembali, jika yang dimaksud film tersebut adalah bagus dari segi efeknya. Artinya, mungkin yang kafir jadi Islam. Yang bejat jadi baik. Dan yang pacaran langsung menikah. Hal-hal seperti itukan yang dimaksud efek positif darinya?. Sehingga, kita mendukungnya sambil mengetik kata Takbir dan do’a-do’a yang mengharapkan agar film tersebut dapat tampil tanpa halangan. Karena, kita menganggapnya sebagai film dakwah.

Dengan dalih, mereka -para penikmat tempat hiburan- itukan saudara kita! Apakah orang-orang yang sering ke bioskop tidak boleh didakwahi?! Apakah orang-orang yang berada di tempat-tempat maksiat tidak boleh didakwahi?!. Begitu kira-kira kata mereka yang menganggap film tersebut sebagai film dakwah.

Semua yang disebutkan di atas adalah “tujuan yang diharapkan” yang “mungkin” saja berdampak begitu. Kalaupun, akan berdampak seperti yang dikatakan, efek yang didapatkan akan tidak sempurna. Artinya, ya, mungkin saja mereka menjadi Islam, namun Islam yang nantinya masih suka ke bioskop, masih suka memakai celana ketat meskipun sudah berkerudung, masih suka datang ke tempat-tempat yang bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya, dan lainnya. Hal inilah yang dikatakan efek terbaik yang didapat darinya. Namun perlu diingat, meskipun cuma hal-hal seperti itu yang dikatakan positif, itu masih “AKAN”. NANTI TERJADINYA, setelah mengantri di depan loket berdesak-desakkan antara laki-laki dan perempuan, setelah duduk di bangku bioskop setelah beberapa jam, setelah mendengar beberapa lagu pengiring, lebih berbahaya lagi dinyanyikan oleh perempuan, setelah melihat seorang kafir memegang mushaf Al Qur’an dan kalian tidak membenci atau mengingkarinya.Yang dalam beberapa jam tersebut, kita “pasti” mendapatkan keburukan-keburukan atau maksiat-maksiat lainnya. Padahal katanya, “Kita bisa terhindar atau merubah hidup dari yang senang dengan kemaksiatan menuju hidup yang senang dengan agama setelah menonton film tersebut”.

Sungguh, niat yang baik tidak bisa merubah yang haram menjadi halal!!!!

Tidak boleh seorang sholat dengan pakaian hasil curian!!

Tidak boleh seorang sholat dengan pakaian penuh najis!!

Tidak ada kebaikan diperoleh dengan cara yang penuh kebatilan!!

Padahal Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik!

Film Ayat-Ayat Cinta -Tidak Lebih Berbahaya Dari Film Maksiat

Bismillahirrohmanirrohim

Kembali kepada judul artikel ini, bahwa yang dimaksud Film Ayat-ayat Cinta tidak lebih berbahaya dari film maksiat adalah dari banyak hal. Di antaranya, kalau yang dimaksud film maksiat itu adalah film yang di dalamnya banyak menampakkan aurat bahkan tidak sehelai benangpun yang menutupi tubuh, maka ini jelas bahwa film maksiat lebih berbahaya dari film Ayat-ayat Cinta. Dan kalau yang dimaksudkan adalah bahwa film maksiat adalah film yang mengajak kepada perbuatan yang berdosa, maka jelas secara tujuan yang dibuatpun film seperti ini masih lebih berbahaya dari film Ayat-ayat Cinta.

Namun secara keseluruhan, film Ayat-ayat Cinta adalah sama saja dengan film-film lainnya. Sama saja seperti sandiwara-sandiwara lainnya yang tujuan kebaikan yang diinginkan lebih sedikit, bahkan sangat sedikit atau bahkan hampir para peminatnya tidak bisa mengambil manfaat darinya dan keburukan yang terdapat di dalamnya sangat banyak. Hal ini sudah disebutkan pada artikel Film Ayat-ayat Cinta -sebuah bahan renungan- atau di Ayat-ayat Setan Berkedok Ayat-ayat Cinta.

Dan saya sangat heran juga ketika dari era muslim menanggapi artikel tersebut. Di sana dikatakan:

Kesimpulan sederhananya, orang Arab (Timur Tengah) adalah anti film, jadi percuma berdakwah kepada mereka dengan menggunakan film. Belum apa-apa mereka sudah bikin fatwa sesat dan haram, tanpa pernah melihat filmnya. Pokoknya masuk bioskop saja sudah haram, biarpun filmnya dari awal hingga akhir isinya hanya kumpulan rekaman ceramah.

Begitulah yang dijawab oleh era muslim ketika menjawab seorang penanya yang memerlukan kepastian jawaban.

Dan juga dikatakan di sana:

Mulai dari antri tiket, sampai urusan campur baur laki-laki dan perempuan di dalam ruang theater, sampai pemain filmnya ada yang perempuan dan seterusnya, semua akan dijadikan dasar keharaman sebuah film dan bioskop. Dan itu buat mereka adalah harga mati.

Saya heran dengan jawaban dari era muslim. Padahal, hal-hal yang ia ragukan tersebut yang oleh orang Arab (menurutnya) dianggap sebagai harga mati memang sudah dijelaskan di dalam Al Qur’an dan hadits nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Saya berusaha untuk tidak berburuk sangka dengannya. Mungkin, ia hanya ingin berusaha bersikap “adil” di kalangan pembacanya. Namun, mengapa ia tidak mau bersikap adil dengan agamanya. Dan sayangnya, era muslim sendiri tidak menjawabnya dengan tegas. Yang ditanya mengenai kejelasan apakah Film Ayat-ayat Cinta lebih berbahaya dari film maksiat atau tidak? Kalau memang lebih berbahaya, dari segi apanya? Kalau tidak lebih berbahaya, dari segi mananya?.

Dan hasil dari jawabannya sungguh membingungkan. Mengapa malah di sana dikatakan:

Walhasil, dari sudut pandang ini, film itu kurang mengangkat ke-Mesiran-nya, Tapi apa itu penting buat penonton di negeri ini?

Aneh memang. Padahal ia baru menyebutkan kedua sisi. Sisi sufi (suka film) dan sisi tifi (anti film), berakhir dengan pernyataan yang menyisakan tanya. Namun, kalau melihat artikel-artikel yang ada di dalam situs era muslim sendiri saya tidak akan heran dengan jawaban tersebut. Di dalamnya sendiri, terlalu banyak artikel yang saling berseberangan antara satu dengan lainnya. Di sana juga terdapat iklan yang melanggar syariat.

Baik, saya di sini tidak hanya ingin mengatakan bahwa sebaiknya jangan berkonsultasi di era muslim. Tapi, saya juga ingin memberikan jalan keluar (solusi). Kalau ingin bertanya, konsultasi, dan lainnya yang kita ingin mendapatkan jawaban yang benar, tegas, dan ada dasarnya dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Demikianlah, sehingga film Ayat-ayat Cinta sama saja seperti film-film lainnya. Keburukan yang banyak yang terdapat di dalamnya, menghiasi secuil kebaikan yang diharapkan oleh pembuatnya. Apalagi, sampai dikatakan sebagai film dakwah. Sungguh, jauh panggang dari api. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Bagaikan timur dengan barat. Berseberangan. Karena memang tidak ada dakwah lewat hal yang demikian. Masih banyak cara yang syra’i yang diridhoi Allah ketimbang membuat film. Meski, dari segi tontonannya film-film maksiat yang berbau pornograpi dikatakan lebih berbahaya dari film Ayat-ayat Cinta.

Jadi, kesimpulannya bahwa kedua judul tersebut, Film Ayat-Ayat Cinta -Lebih Berbahaya Dari Film Maksiat- dan artikel ini, memang memiliki sisi pandang yang berbeda. Dikatakan lebih berbahaya, karena film tersebut dianggap film dakwah atau bahkan dianggap telah melakukan ibadah setelah membuat atau menonton film tersebut, padahal banyak sekali larangan yang dilanggar di sana. Dan dikatakan tidak lebih berbahaya, karena dari sisi tampilan yang ditayangkan.

Wallahu a’lam.

Ayat Ayat Cinta > next Ketika Cinta Bertasbih

Ketika Cinta Bertasbih mungkinkah sesukses AAC

Sukses film AYAT – AYAT CINTA hasil dari adaptasi novel berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy terasa fenomenal. Lebih dari tiga juta pasangan mata penonton rela menyisihkan waktu menyaksikan film garapan sutradara muda berbakat Hanung Bramantyo tersebut. Menyusul itu semua, kembali novel dwilogi best seller karya Habiburrahman El Shirazy berjudul KETIKA CINTA BERTASBIH dibakukan dalam sebuah karya film oleh Sinemart Pictures. Kali ini sutradara kawakan Chaerul Umam dipercaya untuk menginterpretasikan novel yang telah terjual 350.000 copy dalam waktu kurang dari 2 tahun itu Bandingkan dengan AYAT-AYAT CINTA yang mencapai angka 400.000 copy selama 3 tahun.

Dalam sebuah acara press conference di Hotel Sultan, Selasa (25/3) malam, sang novelis Habiburrahman El Shirazy mengatakan pesan cinta yang terkandung dalam karya novelnya kali ini adalah cinta yang membawa pahala dan diridhoi Allah. "Sebuah bentuk cinta yang membawa manfaat atau kebaikan, cinta lawan jenis dalam koridor keagamaan," urainya. Bedanya, kalau AYAT – AYAT CINTA mengintip Indonesia dari Kairo, sebaliknya KETIKA CINTA BERTASBIH mengintip Kairo dari Indonesia.

Novelis berdarah arab yang biasa disapa Kang Abik ini tidak merasa terkesan terburu-buru saat kesuksesan AYAT–AYAT CINTA belumlah pudar novelnya sudah difilmkan kembali. Menurutnya semua ini atas permintaan penonton juga. Di samping itu penandatangan kontrak dengan Sinemart jauh sebelum lauching film AYAT–AYAT CINTA.

"Saya bersyukur film AYAT – AYAT CINTA sangat fenomenal dan ini bisa diikuti dan dihayati anak muda menuju kebaikan. Semua ini merupakan bentuk anugerah Allah untuk menguji saya. Apakah saya tenggelam dalam kufur nikmat atau saya bersyukur pada Allah. Soal puas atau tidak dengan hasil lalu, saya sendiri tidak pernah puas dengan karya novel saya, selalu ingin menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Selama karya saya turut andil dalam negara ini silahkan saja," ujarnya.

Untuk penentuan karakter penting dalam film ini Sinemart akan melakukan audisi secara terbuka. Karena karakter haruslah bisa mendekati keinginan pembaca. Syarat lainnya pemain diharuskan menguasai novel itu sendiri, bermoral bersih dan bisa mengaji. Untuk itu Sinemart akan hunting sampai ke Kairo, agar setting film bisa mendekati karakter novelnya. Untuk ini semua Kang Abik akan dilibatkan untuk penentuan pemain dan penulisan skenario.

Sementara bagi Chaerul Umam tawaran mensutradari film tersebut bak pucuk dicinta ulam tiba. "Sebelum ada tawaran ini, saya sudah membaca novelnya dan berkhayal untuk bisa difilmkan karena konfliknya dalam dan halus. Pucuk dicinta ulam tiba," ujar sutradara terbaik Piala Citra tahun 1992.

Film ini juga menandai kembalinya dia ke dunia film setelah sempat vakum selama kurang lebih sebelas tahun setelah KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP (1986), TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH (1982), NADA DAN DAKWAH (1992) dan FATAHILLAH (1997). "Dalam sebuah karya tidak ada istilah tua dan muda (dibandingkan Hanung Bramatyo), selalu muda. Dan saya optimis karena tema Islam sedang diminati dan sudah lama saya tidak mendapatkan kesempatan seperti ini. Secara pribadi saya optimis, tinggal tunggu takdir," katanya mantap.